Penulis: Akaigita
Penyunting: Miranda Malonka
Penyelaras aksara: Wienny Siska
Desain Sampul: Bella Ansori
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 978-602-06-3654-2
Sinopsis:
Rumah di tepi rawa itu menyimpan bahaya. Dari kucing-kucing yang menghilang tanpa jejak, kerisik aneh di langit-langit pada malam hari, hingga takhayul keberadaan makhluk setinggi pohon kelapa yang menjaga tanah itu.
Suatu hari, Venus—anak perempuan penghuni rumah—terjatuh ke sumur dan koma. Saat dia siuman, dia mengaku terpeleset karena kaget melihat ular besar di sana. Tapi benarkah pengakuannya itu?
Lantas mengapa Adam, sahabat karib Venus, dikucilkan dan dituduh mendorong gadis itu ke sumur? Mengapa pula Luna, adik Venus yang serbatahu malah diam seribu bahasa?
Rumah di tepi rawa itu tak hanya menyimpan bahaya. Tetapi juga rahasia gelap yang tak boleh menyebar.
***
Satu lagi cerita fantasi dari penulis Indonesia yang bikin aku sangat kagum karena cerita ini di luar semua ekspektasiku yang awam akan cerita berbau fantasi.
Jika boleh membanding dengan buku pertamanya—Enigma Pasha—aku tetap akan menjadikan itu buku favoritku. Tapi Ephemera tidak kalah bagus dari segi alur ceritanya yang yaa harus ku katakan kalau ini luar biasa.
Ephemera mempunyai arti sesuatu yang tidak kekal. Penasaran nggak sih sesuatu yang tidak kekal seperti apa yang ada dibuku ini?
Ephemera bercerita tentang tumbuhan, binatang dan manusia. Menurutmu di antara ketiga hal tersebut mana yang lebih berpotensi dalam merusak sesuatu?
Coba aku urai satu persatu—Venus yang jatuh ke sumur lalu koma, Adam yang disalahkan akan tragedi tersebut, Luna yang diam saja walau dia tahu apa yang sebenarnya terjadi dan Herman yang mencoba memecahkan keganjilan yang terjadi di pemukiman ia tinggali.
Hilangnya kucing-kucing sudah menjadi hal yang patut di pertanyakan, lalu keberadaan ular raksasa juga patut dicurigai. Tapi masalahnya di balik semua hal ganjil tersebut siapa yang mengatur stategi itu?
“Pikiran manusia begitu luas, dalam dan rumit. Tidak semuanya indah di sana. Bagaimana jika yang tertangkap dalam memori panjangku justru pikiran-pikiran jahatnya?”
Aku lupa deh kapan terakhir membaca cerita “sepolos” ini. maksudnya, ini teenfiction, di ceritakan dari sudut pandang remaja yang beranjak dewasa. Pemikiran-pemikiran anak seumur itu penuh dengan asumsi dirinya sendiri dan keegoisannya.
Dari empat sudung pandang cerita ini aku menemukan keegoisan tiap tokohnya. Yang tidak mau disalahkan atas pemikirannya sendiri. Mereka merasa benar atas asumsi yang ingin mereka anggap benar. Dan tak kalah menyesakkan keegosian satu manusia bisa menghancurkan banyak hal.
Aku nggak nyangka sih bakalan menyukai buku ini sebab aku paling males kalau baca sesuatu yang berbau fantasi. Imajinasiku tentang fantasi hanyalah negeri dongeng tapi bagaimana mungkin buku ini menyuguhkan latar tempat di hutan yang masih terjaga dengan baik. Kata orang baca buku ini seperti membaca eksiklopedia, berhubung akan nggak pernah baca buku itu jadi aku nggak tahu.
Ngomongin tentang tokoh seperti yang kusebutkan di atas, buku ini ada empat tokoh dengan empat sudut pandang. Jika di tanya siapa tokoh favoritku maka jawabannya enggak ada. Aku cuma relate dengan Venus karena dia mempunyai kepribadian barang-barangnya nggak boleh di sentuh oleh orang lain karena aku juga seperti itu.
“Jika ada dua pihak yang sama-sama benar berselisih, salah satu harus mengalah demi kebaikannya sendiri.”
Untuk kamu yang sedang mencari bacaan ringan dan santai buku ini adalah satu buku yang wajib kamu baca. Cara penulis menuliskan cerita ini terasa ringan bangettt. Celetukan dan pemikiran tokohnya bisa saja membuat kalian tertawa dalam satu waktu. Apalagi Herman dengan ide gilanya mengumpan sosok kecil yang bikin aku jadi sebel banget sama dia.
Ohiyaaa sebelum ulasan ini ku akhiri aku ingat salah satu kutipan entah dari siapa tapi yang jelas aku sering mengatakan itu kepada orang-orang di sekitarku bahwa; “Setiap orang akan menjadi antagonis dalam cerita lain.” dan itu berlaku untuk ke-empat tokoh di cerita ini.
Sekian, terima kasih sudah membaca ulasanku.
Posting Komentar